Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 14 Mei 2013

Perkembangan Pada Remaja



A.    PENDAHULUAN
Remaja sebagai salah satu tahap perkembangan manusia juga memiliki berbagai kebutuhan yang sama seperti diatas. Dimana remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik cepat. Pertumbuhan cepat yang terjadi pada tubuh remaja luar dan dalam itu membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja (Ali & Asrori, 2004).
Hal inilah yang membawa para pakar pendidikan dan psikologi condong untuk menamakan tahap-tahap peralihan tersebut dalam kelompok tersendiri, yaitu remaja yang merupakan tahap peralihan dari kanak-kanak, serta persiapan untuk memasuki masa dewasa. Biasanya remaja belum dianggap sebagai anggota masyarakat yang perlu didengar dan dipertimbangkan pendapatnya serta dianggap bertanggung jawab atas dirinya. Terlebih dahulu mereka perlu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kapasitas tertentu, serta mempunyai kemantapan emosi, sosial dan kepribadian. Dalam pandangan Islam seorang manusia bila telah akhil baligh, maka telah bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Jika ia berbuat baik akan mendapat pahala dan apabila melakukan perbuatan tidak baik akan berdosa (Ali & Asrori, 2004).
Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintelegensi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan uang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini (Ali & Asrori, 2004).
Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki budi luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya, individu yang tumbuh dan berkembang dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka harapan agar anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku terpuji menjadi diragukan (Ali & Asrori, 2004:146-147).
B.     PERKEMBANGAN NILAI, MORAL, DAN SIKAP REMAJA
·        Pengertian Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai, moral, dan sikap adalah aspek-aspek yang berkembang pada diri individu melalui interaksi antara aktivits internal dan berpengaruh stimulus eksternal. Pada awalnya seorang anak belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang dipandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya. Selanjutnya, dalam berinteraksi dengan lingkungan, anak mulai belajar mengenai berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan nilai, moral, dan sikap. Dalam konteks ini,lingkungan merupakan faktor yang besar pengaruhnya bagi perkembangan nilai, moral, dan sikap individu (Horrocks, 1976 dan Gunarsa, 1988).
Menurut Spranger, Nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia itu terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejarahan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi Spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah ”roh subjektif” (subjective spirit). Sementara itu, kekuatan nilai-nilai budaya merupakan ”roh objektif” (objective spirit). Dalam kacamata Spranger, kekuatan individual atau roh subjektif didudukkan dalam posisi primer karena nilai-nilai budaya hanya akan berkembang dan bertahan apabila didukung dan dihayati oleh individu (Mohammad Asrori, 2008:153-154).
Menurut Harrocks, nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai (Sunarto, 2006).
Moral berasal dari berasal dari kata latin “Mos, Moris dan Mores”, yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara dalam kehidupan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi/kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai – nilai dan prinsip-prinsip moral/aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil dan seimbang (Yusuf, 2007 : 132).
Menurut Shaffer bahwa moral merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Menurut Rogers moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial (Sunarto, 2006).
Sedangkan Sikap, menurut Fishbein (1985) ialah predisposisi (kecenderungan) emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel latent yang mendasari, mendireksi dan mempengaruhi perilaku. Sikap diekspresikan ke dalam kata-kata/tindakan hasil reaksi terhadap objek, baik orang, peristiwa, situasi dan lain sebagainya. Sedangkan sesuai dengan konsep Chaplin (1981) dalam ”Dictionary of Psychology” menyamakan sikap dengan pendirian. Menurutnya Sikap yaitu predisposisi/kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku/bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap oranglain, objek, lembaga/persoalan tertentu. Sehingga Sikap merupakan predisposisi untuk mereaksi terhadap orang, lembaga/peristiwa, baik secara positif maupun negatif/predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan kategorisasi (Mohammad Asrori, 2008:153-154).

·        Hubungan Antara Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predisposisi atau kecenderungan individu untuk merespons terhadap suatu objek atau sekumpulan objek sebagai perwujudan darin sistem nilai dan moral yang ada. Nilai mengarahkan pembentukan moral tertentu yang kemudian akan menentukan sikap individu (Anggraini, 2012).
Menurut Sigmund Freud melalui teori Psikoanalisisnya menjelaskan bahwa antara nilai, moral dan sikap saling berketerkaitan. Nilai dan moral itu menyatu pada struktur kepribadian. Struktur kepribadian ini antara lain Id atau Das edes, Ego atau Das Ich dan Super ego atau Das uber ich (Anggraini, 2012).
Hubungan antara nilai, moral dan sikap dapat dilihat dari segi pengamalan nilai-nilai. Nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan ada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud (Anggraini, 2012).

·        Karakteristik Nilai, Moral dan Sikap
Pada perkembangan nilai yang paling menonjol yaitu bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang diperlukan sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk.
Selain itu, dalam perkembangan moralnya karakteristik yang paling menonjol yaitu bahwa tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berpikir operasional formal. Dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai, meskipun belum bertanggung jawab secara pribadi.
Dan yang terakhir adalah perkembangan sikap karakteristik yang paling menonjol yaitu bahwa sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya. Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah serta berkembang ke arah moralitas yang matang dan mandiri (Anggraini,2012).

·        Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat :
1.        Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga dipandang sebagai faktor penentu utama terhadap perkembangan anak. Orang tua mempunayi peranan yang sangat penting bagi tumbuh-kembangnya anak sehingga menjadi seorang pribadi yang sehat, cerdas, terampil, mandiri, dan berakhlak mulia. Seiring dengan fase perkembangan anak, maka peran orang tua juga mengalami perubahan (Yusuf & Sugandhi, 2011:24).
Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan didalamnya anak mendapatkan pendidikan yang  pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak yang belum sekolah. keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang  memilikidan menjunjung tinggi nilainilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan prilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua (Hamsir, 2012).
Menurut Hamner & Turner peranan orang tua yang sesuai dengan fase perkembangan anak adalah: (1) pada masa bayi berperan sebagai perawat (caregiver); (2) pada masa kanak-kanak sebagai pelindung (protector); (3) pada usia prasekolah sebagai pengasuh (nurturer); (4) pada masa sekolah dasar sebagai pendorong (encourager); dan (5) pada masa praremaja dan remaja berperan sebagai konselor (counselor) (Ediasri T.A.,2008:8).
2.    Lingkungan Pendidikan (Sekolah)
Lingkungan pendidikan setelah keluarga, adalah lingkungan sekolah. Sekolah sebagai lembaga formal yang di serahi tugas untuk menyelenggarakan pendidikan tentunya tidak kecil perananya dalam membantu perkembangan hubungan sosial remaja (Hamsir, 2012).
.Dalam konteks ini, guru juga harus mampu mengembangkan proses pendidikan yang bersifat demokratis. Jika guru tetap berpendirian bahwa dirinya sebagai tokoh intelektual dan tokoh otoritas yang memegang kekuasaan penuh, perkembangan hubungan sosial remaja akan terganggu. Untuk itu guru harus mampu mengembangkan perannya selain sebagai guru juga sebagai pemimpin yang demokratis. Artinya, selain menyampaikan pelajaran sebagai upaya mentrasfer pengetahuan kepada peserta didik, juga harus membina peserta didik menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab (Hamsir, 2012).
Sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak, baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun berperilaku. Sekolah brperan sebagai substitusi keluarga, dan guru sebagai substitusi orang tua (Hurlock ,1986: 322).
Dalam salah satu hasil penelitian mengenai pendidikan, Michael Russel mengemukakan tentang definisi sekolah yang efektif, yaitu yang mengembangkan prestasi akademik, keterampilan sosial, sopan santun, sikap positif terhadap belajar, absenteism ynag rendah, melatih keterampilan sebagai bekal bagi siswa untuk dapat bekerja (Sigelman & Shaffer, 1995: 426).
3.     Lingkungan Sosial
Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi – tradisi sosial dan tekanan – tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan  berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan (Hamsir, 2012).
·        Perbedaan Individual Dalam Nilai, Moral,dan Sikap
Nilai, moral, dan sikap, banyak berkaitan dengan substansi kehidupan kelompok sosial tertentu. Sistem nilai, moral, dan sikap individu dalam suatu kelompok sosial sedikit banyak dipengaruhi oleh struktur budayadari kelompok sosial tersebut. Dengan demikian, sistem niali, moral, dan sikap yang berlaku dalam masyarakat berbeda antara kelompok satu dengan lainnya. Bahkan sesungguhnya, sistem nilai, moral, dan sikap bukan hanya diengaruhi oleh kelompok masyarakat tertentu, melainkan dalam suatu keluarga pun biasanya memiliki dan menjunjung tinggi sistem nilai, moral, dan sikap yang diyakini dan dipegang teguh oleh anggota keluarga. Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu kelompok masyarakat sosial tertentu belum tentu dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama halnya, sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu keluarga tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain. Ada suatu keluarga yang mengharuskan para anggota berpakaian muslimah dan sopan karena cara berpakaian seperti itulah dipandang bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada keluarga lain yang lebih senang dan memandang lebih bernilai jika anggotanya berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang sedang merak dikalangan selebritis (Ali & Asrori, 2004:147).
Oleh sebab itu, hal yang wajar jika terjadi perbedaan individual dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat tentang sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya. Perbedaan individual didukung oleh fase, tempo, dan irama perkembangan masing-masing individu. Dalam teori perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap individu dapat mencapai tingkat perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi kecepatan pencapaiannya juga ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya meskipun dalam suatu kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan individu yang lahir pada waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih tinggi dan lebih maju tingkat pemikirannya (Ali & Asrori,2004:147).

·        Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Serta Implikasi Bagi Pendidikan
Suatu sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan agama. Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan (Ali & Asrori,2004:147-148).

Upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap dan sikap juga diharapkan dapat dikembangkan secara efektif di lingkungan sekolah. Akhir-akhir ini, karena semakin maraknya perilaku remaja yang kurang menjunjung tinggi nilai-nilai, moral, dan sikap positif maka diberlakukan lagi pendidikan budi pekerti di sekolah. Penentuan kelulusan siswa,tidak hanya didasarkan pada prestasi akademik belaka melainkan harus dikaitkan dengan budi pekerti siswa tersebut. Proses pendidikan budi pekerti meskipun zaman sebelumnya sudah diterapkan di sekolah, namun kemudian menghilang begitu saja seiring dengan gencarnya kampanye mengejar ketertinggalan dalam pembangunan teknologi. Pendidikan budi pekerti ini sampai sekarang masih dalam proses dan penyempurnaan untuk kemudian menunggu hasilnya dievaluasi. Suatu kelemahan dalam sistem pendidikan kita adalah kita jarang atau hampir tidak pernah merumuskan nilai-nilai inti (core values) dan fundamental secara rinci dan jelas yang kemudian dijadikan landasan bagi semua praktik penidikan. Sistem pendidikan kita mudah berubah-ubah untuk mencari bentuk baru, meskipun sistem pendidikan yang lama belum tuntas diterapakan dan sesungguhnya memiliki dasar-dasar nilai yang lebih kokoh (Ali & Asrori,2004:148).

Serangkaian penelitian menarik yang dilakukan oleh Blatt dan Kohlberg (1995) menunjukkan bahwa upaya pedagogis yang lebih terbatas untuk merangsang proses perkembangan moral dapat juga memiliki dampak yang berarti pada anak. Praktiknya dalah membentuk kelompok masing-masing beranggotakan 10 orang siswa, bertemu dua kali dalam seminggu selama tiga bulan untuk membahas berbagai dilema moral. Kebanyakan siswa dalam kelas perkembangan moralnya ternyata mengalami kemajuan hampir satu tahap penuh. Suatu perubahan substansial untuk kurun waktu sependek itu. Apalagi, para siswa yang telah mengalami kemajuan setelah 12 minggu tetap menunjukkan kemajuan itu setahun kemudian ketimbang kelompok siswa yang tidak pernah memiliki pengalaman diskusi dilema moral (Ali & Asrori,2004:148).
                
Prosedur diskusi moral yang digunakan oleh Blatt berbeda dengan yang umumnya dilakukan oleh para guru. Prosedur diskusi moralnya menggunakan apa yang disebut dengan istilah “induksi konflik-kognitif” (cognitif-conflict induction) mengenai masalah-masalah moral dan memberikan keterbukaan terhadap tahap berpikir yang sebenarnya berada di atas tahap berpikir siswa (Ali & Asrori,2004:148).
   Prosedur pertama, kurikulum pendidikan moral dipusatkan pada suatu rangkaian dilema moral yang didiskusikan bersama-sama antara siswa dan guru. Semua dilema moral yang dipilih adalah yang dapat mencetuskan konflik-kognitif, yaitu rasa tida pasti mengenai apa yang benar, memadainya keyakinan moral yang ada dan dipegang oleh siswa, atau dipilih karena dilema moral dapat menimbulkan perdebatan di kalangan siswa (Ali & Asrori, 2004:148-149).

Prosedur kedua, menimbulkan diskusi antara para murid pada dua tahap perkembangan moral yang berdekatan. Kebanyakan kelas yang digunakan Blatt terdiri atas para siswa yang sekurang-kurangnya memiliki tiga tahap perkembangan moral yang berbeda dan berdekatan. Karena para siswa berpikir sesuai dengan perbedaan tahap perkembangan moralnya, argumentasi yang mereka gunakan juga menjadi berbeda dan bervariasi. Selama diskusi berlangsung, guru mula-mulamendukung dan menjelaskan semua argumentasi yang berada satu tahap di atas perkembangan moral teryaitu endah. Misalnya, guru mendukung asrgumentasi siswa yang berada pada tahap 3 daripada tahap 2. Apablia argmentasi tampak dipahami oleh siswa, guru menantang tahap 3 sambil menggunakn situasi-situasi dilema moral baru dan menjelaskan semua argumen yang berasal dari 1 tahap di atasnya,yaitu argumen-argumen dari tahap 4. Pada akhir semester,semua siswa di uji ulang,danhasilnya para siswa memperlihatkan perubahan yang berarti ke tingkat yang lebih tinggi daripada kelompok yang tidak dilibatkan dalam diskusi moral. Seseutu yang mengembirakan adalah bahwa perubahan ke tingkat yang lebih tinggi mampu bertahan hinggaa setahun kemudian (Ali & Asrori,2004:149).

Implikasi bagi pendidikan dari hasil penelitian Blatt adalah bahwa guru harus serius membantu para siswa mempertimbangkan berbagai konflik moral yang sesungguhnya,memikirkan cara pertimbangan yangdiguankan dalam menyelesaikan konflik moral,melihat ketidakkonsistenan cara berpikir, dan menemukan jalan untuk mengatasinya.untuk dapat melaksanakannya,guru harus memahami tingkatan berpikir siswa mdan menyesuaikan dalam  berkomunikasi dengan tingkat di atasnya, memusatkan  perhatian pada bernalar siswa, serta membatu siswa mengatasi konflik yang dapat mengantarkannya kepada kesadaran bahwa pada tahap berikutnya akan lebih memadai (Ali & Asrori, 2004:149).
        
Perlu ditegaskan bahwa program diskusi moral di ruang kelas hanyalah merupakan salah satu contoh bagaimana metode penggembangan kognitif (cognitive development) di terapkan di sekolah. Pendekatan diskusi kelas seharusnya merupakan bagian dari keterlibatan yang lebih luas dan  lebih bertahan bagi para siswa dalam kehidupan sosial dan moral sekolah. Jika dibandingkan  dengan berusaha menanamkan seperangkat nilai yang sudah ditetapkan  sebelumnya dan tidak dipersoalkan lagi, sebaliknya guru menguji siswa dengan persoalan-persoalan moral atau dilema-dilema yang di hadapi oleh komunitas sekolah sebagai masalah yang harus diselesaikan (Ali & Asrori,2004:149).

Sayangnya, dewasa ini sekolah-sekolah pada umumnya bukan menjadi lembaga moral secara khusus. Hubungan-hubungan kelembagaan cenderung berdasarkan otoritas daripada ide keadilan. Orang dewasa sering kali kurang berminat untuk menemukan bagaimana cara siswa berpikir dan cenderung lebih senang mengatakan kepada para siswa tentang apa yang seharusnya mereka pikirkan. Suasana sekolah pada umumnya merupakan kombinasi antara tahap 1 dari tahap perkembangan moral, yaitu moralitas hukuman dengan tahap 4, yaitu hukum dan tata tertib yang gagal menciptakan kesan atau merangsang siswa agar terlibat dalam filsafat moral mereka sendiri (Ali & Asrori,2004:149).

Selain diskusi ruang kelas tentang dilema moral, Kohlberg (1992) juga menyarankan agar diperluas ke dalam diskusi tentang kehidupan nyata. Masalah-masalah kehidupan nyata akan dapat membawa proses pendidikan moral kepada apa yang seharusnya merupakan pokok perhatian utama dalam pendidikan moral, yaitu suasana moral sekolah. Perluasan diskusi ruang kelas tentang keadilan atau dilema moral menjadi diskusi tentang kehidupan nyata yang  berarti sama dengan melakukan usaha penanganan masalah-masalah keadilan dan moral disekolah. Oleh sebab itu, pendidikan demi keadilan dan moral menuntut usah menjadikan sekoalh lebih adil dan bermoral, serta mendorong para siswa berperan aktif untuk mewujudkan sekolah menjadi lebih adil dan bermoral (Asrori, 2008:147-148).

Selanjutnya, Kohlberg (1995) memberikan ilustrasi tentang penerapan prinsip utama dari rangsangan yang berkenaan dengan lingkunagan terhadap proses perkembangan moral. Prinsip utama adalah konsepsi mengenai peningkatan kesempatan partisipasi dan pengambilan peran sosial. Mengenai pentingnya partisipasi dan peran sosial ini, hasil penelitian Kohlberg (1970) menunjukkan bahwa anak yang memilki partisipasi kelompok sebaya yang lebih luas perkembangan moralnya ternyata lebih cepat daripada anak yang dikucilkan dari partisipasi sosial, meskipun mereka memiliki IQ dan kelas sosial yang sama.ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya kelompok teman sebaya sebagai stimulasi yang relevan dan memiliki kemampuan kuat bagi pendidikan moral. Adalah suatu kenyataan dari hasil penelitian bahwa siswa yang tersisih dalam kelasnya lebih lambat mengembangkan  kemampuan pertimbangan moral daripada terintegrasi dengan baik bersama-sama teman sekelasnya (Ali & Asrori,2004:150).



C.    JENIS – JENIS KEBUTUHAN REMAJA
Salah satu aspek psikologis yang berperan penting dalam menggerakkan manusia untuk berbuat sesuatu adalah “motivasi”. Konsep lain yang sering disejajarkan dengan motivasi adalah dikenal dengan drive (dorongan) dan desire (keinginan). Namun,sejauh perkembangan pengkajian mengenai tingkah laku manusia,yang dikenal luas sebagai pendorong tingkah laku manusia adalah motivasi. Teori motivasi yang sangat terkenal dibangun dan dikembangkan oleh seorang yang  bernama Abraham H.Maslow (Ali & Asrori, 2004:153). Sedemikian masyurnya teori ini, Goble (1987) bahkan sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori Maslow tentang motivasi manusia dapat diterapkan pada hampir seluruh aspek kehidupan pribadi serta kehidupan sosial.
Satu konsep fundamental yang khas dari teori motivasi yang dikemukakan oleh Maslow adalah bahwa manusia dimotivasikan oleh sejumlah “kebutuhan” dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah, dan berasal dari suatu sumber genetis atau naluriah (Goble, 1987). Kebutuhan-kebutuhan itu tidak semata-mata bersifat fisiologis, melainkan juga bersifat psikologis. Keutuhan-kebutuhan ini sesungguhnya merupakan inti kodrat manusia,hanya saja mereka itu lemah serta mudah diselewengkan dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan, atau tradisi yang keliru (Ali & Asrori, 2004:153). Menurut Maslow, kebutuhan-kebutuhan itu merupakan aspek-aspek intrinsik kodrat manusia yang tidak dimatikan oleh kebudayaan, hanya saja ditindas oleh kebudayaan (Goble, 1987). Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan itu dapat dengan mudah diabaikan atau ditekan, tidak bersifat jahat melainkan netral atau justru baik (Asrori, 2008:150).

Menurut Maslow (1962), suatu sifat dapat dipandang sebagai kebutuhan dasar jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Ketidakhadirannya atau ketidakadaannya menimbulkan penyakit.
2.      Kehadirannya mencegah timbulnya penyakit.
3.      Pemulihannya menyembuhkan penyakit.
4.      Dalam situasi-situasi tertentu yang sangat kompleks dan orang bebas memilih, orang
yang sedang berkekurangan ternyata mnegutamakan kebutuhan dibandingkan jenis-jenis kepuasan lainnya.
5.      Kebutuhan itu tidak aktif, lemah, dan secara fungsional,tidak terdapat pada orang yang hebat.

·        Teori Kebutuhan Pada Umumnya
Maslow (dalam Bill S. Reksadjya, 1981) merumuskan kebutuhan manusia terdiri dari lima jenis dan berjenjang. Teorinya terkenal dengan “ Hirarki Kebutuhan” manusia. Disebut dengan hirarki, karena pemenuhan kebutuhan dilakukan secara berjenjang sesuai dengan yang lainnya untuk segera dipenuhi. Apabila kebutuhan pertama telah terpenuhi dengan baik maka ranking prioritas yang terbesar berikutnya adalah jenis kebutuhan kedua, yaitu kebutuhan rasa aman, dan seterusnya hingga kebutuhan kelima. Lima jenis kebutuhan menurut Maslow itu, diuraikan secara  rinci pada pembahasan berikut ini :
1.      Kebutuhan Fisiologis
Dari lima kebutuhan itu, kebutuhan  yang mendapat perhatian lebih besar dibanding dengan kebutuhan lainnya untuk segera dipenuhi adalaah kebutuhan yang berkaitan dengan kebutuhan fisik kebutuhan ini juga diistilahkan dengan ‘’kebutuhan fislologis’’ contoh dari jenis kebutuhan ini antara lain kebutuhan untuk  makan, minum, pakaian, seks, udara segar, istirahat, dan sejenisnnya. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang berada pada level paling utama untuk  kelangsungan hidup manusia (Mudjiran,2007).
Ini merupakan kebutuhan yang paling dasar, paling kuat, dan paling jelas dari sekian banyak kebutuhan manusia karena merupakan kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik,yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, sandang, tempat tidur, seks, tidur, dan oksigen. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan,pertaa-tama yang akan dilakukan adalah memburu makanan terlebih dahulu. Kebutuhan –kebutuhan lain akan ditekan terlebih dahulu dan akan mengutamakan pemenuhan kebutuhan fisiologinya. Bagi orang yang lapar berat dan membahayakan dirinya, motivasi utamanya adalah makanan untuk menghilangkan rasa laparnya (Asrori, 2008:151). Bahkan Maslow mengatakan:”ia bermimpi tentang makanan,pikirannya tertuju pada makanan,keinginannya juga tertuju pada makanan.
2.       Kebutuhan Rasa Aman
Di atas kebutuhan fisiologis atau dapat dikatakan sebagai kebutuhan yang lebih tinggi dari kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan rasa aman. Segera setelah kebutuhannya terpenuhi, maka kan muncul pada diri seseorang akan kebutuhan rasa aman itu (Asrori, 2008:151).
Kebutuhan rasa aman dan tentram juga disebut dengan istilah “safety needs” rasa aman yang bersifat psikis, seperti dikatakan oleh steers dan porter (1987) yaitu aman dalam bentuk lingkungan emosional. Aman berarti terbebas dari gangguan dan ancaman, serta permasalahan yang dapat mengganggu ketenangan hidup seseorang. Bebas dari ancaman yang dapat mengganggu kelangsungan hidup sehari-hari (Mudjiran,2007).
Menurut (Goble, 1987), dalam penelitiannya mendapati bahwa para psikolog dn pendidik menemukan bahwa anak-anak membutuhkan dunia yang jelas dan dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika kejelasan, dapat diramalkan, dan konsistensi itu tidak dapat ditemukan dlam dunianya, maka akan menyebabkan kecemasan dan merasa tidak aman.
Orang dewasa yang senantiasa merasa dirinya tidak aman akan cenderung neorotik dan bertingkah laku seperti anak yang tidak aman (Asrori, 2008:151-152). Orang semacam itu, kata Maslow, akan cenderung bertingkah laku seakan-akan selalu dalam keadaan terancam bencana besar. Seseorang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan yang berlebihan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari segala sesuatu yang dipandang asing bagi dirinya dan yang tidak diharapkan oleh dirinya.

3.      Kebutuhan akan Rasa Cinta dan Memiliki atau Kebutuhan Sosial
Setelah kebutuhan psikologis dan rasa aman terpenuhi, maka muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa memiliki dan dimilki, cinta, dan kasih sayang. Setiap manusia sesungguhnya merasakan kebutuhan yang mendalam akan adanya cinta dan kasih sayang dari orang lain dan kepada orang lain. Demikian juga, setiap orang        sangat membutuhkan rasa memiliki dan dimiliki orang lain. Seseorang akan merasa sedih kalau dirinya merasa tidak memiliki dan dimiliki orang lain atau kelompoknya karena dirinya akan tidak diterima atau tidak mendapat tempat pada diri orang lain atau kelompoknya. Demikian juga, seseorang akan merasa sedih jika dirinya merasa tidak disayangi oelh orang lain atau kelompoknya. Betapapun seseorang sudah terpenuhi kebutuhan fisiologisnya dan rasa amannya, tetapi jika merasa tidak ada cinta dan kasih sayang serta tidak ada rasa memiliki dan dimiliki orang lain atau kelompoknya, maka akan terasa ada sesuatu kekurangan yang sangat mendalam yang menggangggu pikiran dan perasaannya (Asrori, 2008:152).
Bagi Maslow, cinta dan kasih sayang merupakan sesuatu yang hakiki dan sangat berharga dalam kehidupan manusia karena di dalamnya menyangkut suatu hubungan erat, sehat, dan penuh kasih sayang antara dua orang atau lebih, serta menumbuhkan sikap saling percaya. Carl Rogers merumuskan cinta dan kasih sayang sebagai “keadaan dimengerti secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati”. Dalam hubungan antarmanusia yang dilandasi rasa kasih sayang dan rasa memiliki akan menumbuhkan hubungan yang sejati. Dalam hubungan yang sejati tidak akan ada rasa takut, tidak aman, atau cemas yang sering sekali menjadi penyebab rusaknya hubungan manusia satu sama lain (Asrori, 2008:152). Maslow bahkan menemukan bahwa tanpa cinta dan kasih sayang, pertumbuhan dan perkembangan individu akan terhambat. Para ahli psikopatologi mengatakan bahwa terhalangnya pemuasan kebutuhan akan rasa cinta dan kasih sayang merupakan penyebab utama terjadinya salah suai (maladjustment). Jadi, kebutuhan akan rasa cinta dan kasih sayang serta rasa memiliki dan dimiliki ini merupakan kebutuhan yang sangat diperlkan sejak masih bayi sampai tua (Asrori, 2008:152).
Kebutuhan rasa cinta dan memiliki atau “love and belongingness needs”. Kebutuhan ini dapat berupa perasaan diterima oleh orang lain, merasa dirinya berguna bagi orang lain, diikutsertakan dalam kelompoknya, mengembangkan persahabatan dan sejenisnya. Orientasi pemenuhan kebutuhan ini cenderung pada terciptanya hubungan sosial yang harmonis dan kepemilikan (Mudjiran,2007).
4.      Kebutuhan Harga Diri
Jenis kebutuhan yang keempat ini juga disebut dengan “self esteem needs”. Setiap manusia membutuhkan pengakuan secara layak atas keberadaanya bagi orang lain. Hak dan martabatnya sebagai manusia tidak dilecehkan oleh orang lain, bilamana terjadi pelecehan harga diri, maka setiap orang akan marah atau tersinggung. Beberapa bentuk kebutuhan ini antara lain adalah ingin memiliki citra diri positif, menerima pengakuan, penghargaan dan perhatian dari orang lain (Steers dan Porter 1987). Oleh karena itu guru tidak baik kalau suka     (meng-erosikan) harga diri siswanya. Secara tidak disadari hal ini sering terjadi di sekolah seperti guru suka mempermainkan nama seseorang yang dianggap aneh dan/atau memberikan panggilan yang tidak menyenangkan bagi orang yang bersangkutan. Hal ini dapat dirasakan merendahkan harga dirinya. Sebagai contoh guru memnggil seorang siswa yang badannya kurus dengan panggilan “si krempeng”. Anak yang rambutnya keriting dipanggil “si kribo” dan banyak lagi contoh yang lain yang tidak normatif bagi tindakan seorang pendidik. Untuk itu perlu dihindarkan memberi label yang tidak disenangi bagi orang lain (Mudjiran,2007).
Ada dua kategori tentang kebutuhan akan penghargaan pada manusia, yaitu:
a)      Kebutuhan akan harga diri
b)      Kebutuhan akan penghargaan dari orang lain.
Kebutuhan akan harga diri meliputi:
1)      Kepercayaan diri
2)      Kompetensi
3)      Penguasaan
4)      Kecukupan
5)      Prestasi
6)      Ketidak-tergantungan
7)      Kebebasan
Kebutuhan akan penghargaan dari orang lain meliputi:
1)      Prestise
2)      Pengakuan
3)      Penerimaan
4)      Perhatian
5)      Kedudukan
6)      Nama baik
Kebutuhan akan diri dan penghargaan dari orang lain juga tidak kalah pentingnya dari kebutuhan-kebutuhan lainnya. Seseorang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri, merasa lebih mampu, dan lebih produktif. Sebaliknya, orang yang tidak cukup memiliki harga diri akan cenderung merasa rendah diri, tidak percaya diri, tidak berdaya, tidak berdaya, dan bahkan kehilangan inisiatif atau mengalami kebuntuan berpikir. Perlu ditegaskan di sini bahwa harga diri yang paling stabil dan paling sehat adalah yng tumbuh dan berkembang dari penghargaan yang wajar dari orang lain, bukan penghargaan karena kedudukan, kemasyuran, atau sanjungan kosong (Ali dan Asrori,2004:156).




5.      Kebutuhan Aktualisasi Diri
Jenis kebutuhan yang kelima ini diistilahkan dengan ‘’self actualization needs’’. Setiap orang memiliki potensi dan potensi itu perlu pengembangan dan pengaklualisasian. Orang akan menjadi puas dan citra dirinya positif apabila dapat mewujudkan potensi – potensi yang dimiliki dengan baik. Orang akan merasa bahagia dan puas bilamana dapat mewujudkan peran dan tanggung jawabnya dengan baik. Contohnnya seorang mahasiswa dapat berprilaku atau menampilkan diri sebagaimana layaknya seorang mahasiswa dalam kehidupannya sehari – hari (Mudjiran,2007).
Maslow menegaskan bahwa setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuan yang dimilikinya. Dalam konteks ini, Maslow mengemukakan suatu kebutuhan yang dipandang sebagai kebutuhan paling tinggi yang kemudian diberi nama “aktualisasi diri”.  Kebutuhan “aktualisasi diri” didefinisikan sebagai kebutuhan mendalam pada individu untuk menumbuhkan , mengembangkan, dan menggunakan kemampuannya secara penuh. Kebutuhan aktualisasi diri ini merupakan salah satu aspek yang amat dalam teorinyaberkenaan dengan motivasi . Lebih lanjut, dia melukiskan kebutuhan ini sebagai “hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya”. Dikatakan oleh Maslow bahwa kebutuhan aktualisasi diri ini biasanya muncul sebuah sesudah kebutuhan aan penghargaan dan kasih sayang terpenuhi secara memadai. Dalam hierarki kebutuhan dari Maslow, kebutuhan aktualisai diri ini merupakan kebutuhan tertinggi atau puncak kebutuhan manusia (Asrori, 2008:155-156).

·        Teori Kebutuhan yang Dipelajari Mc.Claland
Konsep penting lain dari teori yang didasarkan dari kekuatan yang ada pada diri manusia adalah motivasi prestasi menurut Mc Clelland seseorang dianggap mempunyai apabila dia mempunyai keinginan berprestasi lebih baik daripada yang lain pada banyak situasi Mc. Clelland menguatkan pada tiga kebutuhan yaitu :
1.      Kebutuhan prestasi(need achesment (n.Ach)) tercermin dari keinginan mengambil tugas yang dapat dipertanggung jawabkan secara pribadi atas perbuatan-perbuatannya. Ia menentukan tujuan yang wajar dapat memperhitungkan resiko dan
ia berusaha melakukan sesuatu secara aktif dan inovatif.
2.    Kebutuhan afilias(need for afliation (n. Af)), kebutuhan ini ditujukan dengan adanya bersahabat.
3. Kebutuhan kekuasaan (need for power (n.Pow)), kebutuhan ini tercermin pada seseorang yang ingin mempunyai pengaruh atas orang lain, dia peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dan ia mencoba menguasai orang lain dengan mengatur perilakunya dan membuat orang lain terkesan kepadanya, serta selalu menjaga reputasi dan kedudukannya (Ali dan Asrori,2008).

D.    TUGAS – TUDAS PERKEMBANGAN REMAJA
·        Pengertian
Setiap individu tumbuh dan berkembang selama perjalanan kehidupannya melalui beberapa periode atau fase-fase perkembangan.Setiap fase perkembangan mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus diselesaikan dengan baik oleh setiap individu.Sebab,kegagalan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan pada fase tertentu berakibat tidak baik pada  kehidupan fase berikutnya. Sebaiknya, keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya (Ali & Asroli, 2004:164 ).
Seorang ahli psikologi yang dikenal luas dengan teori tugas-tugas perkembangan adalah (Hurlock,1990). Dia mengatakan bahwa tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau  sekitar satu periode tertentu dari kehidupan individu dan jika berhasil akan menimbulkan fase bahagia dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Akan tetapi, kalau gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya. Tugas-tugas perkembangan tersebut diantaranyamuncul sebagai akibat kematangan fisik, sedangkan yang lain berkembang karena adanya aspirasi budaya,sementara yang lain lagi tumbuh dan berkembangan karena nilai-nilai dan aspirasi individu.





·        Tujuan
Tugas-tugas perkembangan mempunyai tiga macam tujuan yang sangat bermanfaat bagi individu dalam menyelesaikan tugas perkembangan(Ali & Asrori 2004:164),yaitu sebagai berikut:
1.      Sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarat dari mereka pada usia-usia tertentu.
2.      Memberi motivasi kepada setiap individu untuk melakukan apa yang diharapkan oleh kelompok sosial pada usia tertentu sepanjang kehidupan.
3.      Menunjukan kepada setiap individu tentang apa yang akan mereka hadapi dan tindakan apa yang diharapkan dari mereka jika nantinya akan memasuki tingkat perkembangan berikutnya.
Tugas-tugas perkembangan ada yang dapat diselesaikan dengan baik, ada juga yang mengalami hambatan. Tidak dapat diselesaikan dengan baik suatu tugas perkembangan dapat menjadi bahaya potensial. Setidaknya ada tiga macam bahaya potensian yang menjadi penghambat penyelesaian tugas perkembangean,yaitu sebagai berikut;
1.      Harapan-harapan yang kurang tepat,baik individu maupun lingkungan sosial mengharapkan perilaku diluar kemampuan fisik maupun psikologi.
2.      Melangkahi tahap-tahap tertentu dalam perkembangan sebagai akibat kegagalan menguasai tugas-tugas tertentu.
3.      Adanya krisis yang dialami individu karena melewati satu tingkatan ketingkat yang lain.
Havighurst mendefinisikan tugas perkembangan, adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan fase bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugasa-tugas berikutnya. Akan tetapi, kalau gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapin tugas-tugas berikut.


Ada sejumlah tugas  perkembangan remaja yang penting,yaitu:
1.      Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita;
2.      Mencapai peran sosial pria dan wanita;
3.      Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif;
4.      Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya;
5.      Mencapai jaminan kebebasan ekonomis;
6.      Memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan;
7.      Persiapan untuk memasuki kehidupan berkeluarga;
8.      Mengembangkan keterampilan intelektuan dan konsep yang penting untuk kompetensi kewarganegaraan;
9.      Memperoleh suatu himpunan nilai-nilai dan sistem etika sebagai pedoman tingkah laku.
















daftar pustaka

Ali, M dan M.Asrori. 2004. Psikologi Remaja. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Anggraini,Rika.2012.Perkembangan Nilai Moral,dan Sikap. Lampung. (Online). (http://chachafaheem.blogspot.com., diakses pada 29 April 2012).
Asrori, Muhammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima.
Goble, F.G. 1987. The Third Force: The Psychology of Abraham Maslow. New York: Washington Squqre  Press.
Hamsir. 2012. Perkembangan Moral, dan Sikap Remaja.Bulukumba. (Online).( http://hamsir-amunk.blogspot.com., diakses pada Mei 2012).
Horrocks, J.E. 1976. The Psychology of Adolesence. New York: Houghton Mifflin.
Kohlberg, L.E. 1970. “The Moral Atmosphere of the School”. Dalam N. Overley (Ed). The Unstudied Curriculum, Washington D.C. : Monograph of the Assosiation for Supervision and Curriculum Development.
Mudjiran, dkk. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Padang: UNP Press.
Sigelman Carol K.,  & Shaffer David R. 1995. Life-Span Human Development. Calipornia : Brooks/Cole Publishing Company.
Sunarto dan B. Agung Hartono. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.
Yusuf, S dan  Sugandhi. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Yusuf, Syamsu. 2007. Psykologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya.


Disusun  :
    Maharani (F15112023)
Margareta Kiki (F15112026) 
Maria Elisabeth (F15112033)




 

Blogger news