A.
PENDAHULUAN
Remaja sebagai salah satu
tahap perkembangan manusia juga memiliki berbagai kebutuhan yang sama seperti
diatas. Dimana remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak
berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik cepat. Pertumbuhan cepat yang terjadi
pada tubuh remaja luar dan dalam itu membawa akibat yang tidak sedikit terhadap
sikap, perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja (Ali & Asrori, 2004).
Hal inilah yang membawa
para pakar pendidikan dan psikologi condong untuk menamakan tahap-tahap
peralihan tersebut dalam kelompok tersendiri, yaitu remaja yang merupakan tahap
peralihan dari kanak-kanak, serta persiapan untuk memasuki masa dewasa.
Biasanya remaja belum dianggap sebagai anggota masyarakat yang perlu didengar
dan dipertimbangkan pendapatnya serta dianggap bertanggung jawab atas dirinya.
Terlebih dahulu mereka perlu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
kapasitas tertentu, serta mempunyai kemantapan emosi, sosial dan kepribadian.
Dalam pandangan Islam seorang manusia bila telah akhil baligh, maka telah
bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Jika ia berbuat baik akan mendapat
pahala dan apabila melakukan perbuatan tidak baik akan berdosa (Ali &
Asrori, 2004).
Secara psikologis, masa
remaja adalah usia dimana individu berintelegensi dengan masyarakat dewasa,
usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan uang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah
hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang
lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang
mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja ini
memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa,
yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini
(Ali & Asrori, 2004).
Remaja yang tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang penuh rasa
aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih,
dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki budi
luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya, individu
yang tumbuh dan berkembang dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik,
pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang
religius maka harapan agar anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi
individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku
terpuji menjadi diragukan (Ali & Asrori, 2004:146-147).
B. PERKEMBANGAN NILAI, MORAL,
DAN SIKAP REMAJA
·
Pengertian Nilai, Moral, dan
Sikap
Nilai, moral, dan sikap
adalah aspek-aspek yang berkembang pada diri individu melalui interaksi antara
aktivits internal dan berpengaruh stimulus eksternal. Pada awalnya seorang anak
belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau
tentang apa yang dipandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya.
Selanjutnya, dalam berinteraksi dengan lingkungan, anak mulai belajar mengenai
berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan nilai, moral, dan sikap. Dalam
konteks ini,lingkungan merupakan faktor yang besar pengaruhnya bagi
perkembangan nilai, moral, dan sikap individu (Horrocks, 1976 dan Gunarsa,
1988).
Menurut Spranger, Nilai diartikan sebagai suatu
tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih
alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger,
kepribadian manusia itu terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan
kesejarahan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam
kepribadian manusia, tetapi Spranger tetap mengakui kekuatan individual yang
dikenal dengan istilah ”roh subjektif” (subjective spirit). Sementara itu,
kekuatan nilai-nilai budaya merupakan ”roh objektif” (objective spirit). Dalam
kacamata Spranger, kekuatan individual atau roh subjektif didudukkan dalam
posisi primer karena nilai-nilai budaya hanya akan berkembang dan bertahan
apabila didukung dan dihayati oleh individu (Mohammad Asrori, 2008:153-154).
Menurut
Harrocks, nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau
kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai
suatu yang ingin dicapai (Sunarto, 2006).
Moral berasal dari
berasal dari kata latin “Mos, Moris dan Mores”, yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara dalam kehidupan. Moral pada
dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus
dipatuhi/kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam
hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai – nilai dan prinsip-prinsip
moral/aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan
kehidupan sosial secara harmonis, adil dan seimbang (Yusuf, 2007 : 132).
Menurut Shaffer bahwa
moral merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus
dipatuhi. Menurut Rogers
moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu oleh
nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial
(Sunarto, 2006).
Sedangkan
Sikap, menurut Fishbein (1985) ialah
predisposisi (kecenderungan) emosional yang dipelajari untuk merespon secara
konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel latent yang mendasari,
mendireksi dan mempengaruhi perilaku. Sikap diekspresikan ke dalam
kata-kata/tindakan hasil reaksi terhadap objek, baik orang, peristiwa, situasi
dan lain sebagainya. Sedangkan sesuai dengan konsep Chaplin (1981) dalam ”Dictionary of Psychology” menyamakan sikap
dengan pendirian. Menurutnya Sikap yaitu predisposisi/kecenderungan yang
relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku/bereaksi
dengan suatu cara tertentu terhadap oranglain, objek, lembaga/persoalan
tertentu. Sehingga Sikap merupakan predisposisi untuk mereaksi terhadap orang,
lembaga/peristiwa, baik secara positif maupun negatif/predisposisi untuk
melakukan klasifikasi dan kategorisasi (Mohammad Asrori, 2008:153-154).
·
Hubungan Antara Nilai, Moral,
dan Sikap
Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk
melakukan sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau
dihindari, sedangkan sikap merupakan predisposisi atau kecenderungan individu
untuk merespons terhadap suatu objek atau sekumpulan objek sebagai perwujudan
darin sistem nilai dan moral yang ada. Nilai mengarahkan pembentukan moral
tertentu yang kemudian akan menentukan sikap individu (Anggraini, 2012).
Menurut Sigmund Freud melalui teori
Psikoanalisisnya menjelaskan bahwa antara nilai, moral dan sikap saling
berketerkaitan. Nilai dan moral itu menyatu pada struktur kepribadian. Struktur
kepribadian ini antara lain Id atau Das edes, Ego atau Das Ich dan Super ego
atau Das uber ich
(Anggraini,
2012).
Hubungan antara nilai, moral dan sikap dapat dilihat dari
segi pengamalan nilai-nilai. Nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu,
kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu
terhadap nilai-nilai tersebut dan ada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai
dengan nilai-nilai yang dimaksud (Anggraini, 2012).
·
Karakteristik Nilai, Moral dan
Sikap
Pada perkembangan nilai yang paling menonjol yaitu bahwa
remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan
nilai-nilai baru yang diperlukan sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk.
Selain itu, dalam perkembangan moralnya karakteristik
yang paling menonjol yaitu bahwa tingkat perkembangan kognisi yang mulai
mencapai tahapan berpikir operasional formal. Dicirikan dengan mulai tumbuh
kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena
dianggapnya sebagai suatu yang bernilai, meskipun belum bertanggung jawab
secara pribadi.
Dan yang terakhir adalah perkembangan sikap karakteristik
yang paling menonjol yaitu bahwa sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang
tua dan orang dewasa lainnya. Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat
sementara dan akan berubah serta berkembang ke arah moralitas yang matang dan
mandiri (Anggraini,2012).
·
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan
nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan
fisik kebendaan baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun
masyarakat :
1.
Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga dipandang sebagai faktor penentu
utama terhadap perkembangan anak. Orang tua mempunayi peranan yang sangat
penting bagi tumbuh-kembangnya anak sehingga menjadi seorang pribadi yang
sehat, cerdas, terampil, mandiri, dan berakhlak mulia. Seiring dengan fase
perkembangan anak, maka peran orang tua juga mengalami perubahan (Yusuf &
Sugandhi, 2011:24).
Keluarga
merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan
didalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Keluarga
merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan paling
kuat dalam membesarkan anak yang belum sekolah. keinginan dan harapan orang tua
yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang
memilikidan menjunjung tinggi nilainilai luhur, mampu membedakan yang baik dan
yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
serta memiliki sikap dan prilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua (Hamsir,
2012).
Menurut Hamner
& Turner peranan orang tua yang sesuai dengan fase perkembangan anak
adalah: (1) pada masa bayi berperan sebagai perawat (caregiver); (2) pada masa kanak-kanak sebagai pelindung (protector); (3) pada usia prasekolah
sebagai pengasuh (nurturer); (4) pada masa sekolah dasar sebagai pendorong (encourager); dan (5) pada masa praremaja
dan remaja berperan sebagai konselor (counselor)
(Ediasri T.A.,2008:8).
2. Lingkungan Pendidikan (Sekolah)
Lingkungan
pendidikan setelah keluarga, adalah lingkungan sekolah. Sekolah sebagai lembaga
formal yang di serahi tugas untuk menyelenggarakan pendidikan tentunya tidak
kecil perananya dalam membantu perkembangan hubungan sosial remaja (Hamsir, 2012).
.Dalam
konteks ini, guru juga harus mampu mengembangkan proses pendidikan yang
bersifat demokratis. Jika guru tetap berpendirian bahwa dirinya sebagai tokoh
intelektual dan tokoh otoritas yang memegang kekuasaan penuh, perkembangan
hubungan sosial remaja akan terganggu. Untuk itu guru harus mampu mengembangkan
perannya selain sebagai guru juga sebagai pemimpin yang demokratis. Artinya,
selain menyampaikan pelajaran sebagai upaya mentrasfer pengetahuan kepada
peserta didik, juga harus membina peserta didik menjadi manusia dewasa yang
bertanggung jawab (Hamsir, 2012).
Sekolah merupakan
faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak, baik dalam cara berpikir,
bersikap, maupun berperilaku. Sekolah brperan sebagai substitusi keluarga, dan
guru sebagai substitusi orang tua (Hurlock ,1986: 322).
Dalam salah satu
hasil penelitian mengenai pendidikan, Michael Russel mengemukakan tentang
definisi sekolah yang efektif, yaitu yang mengembangkan prestasi akademik,
keterampilan sosial, sopan santun, sikap positif terhadap belajar, absenteism
ynag rendah, melatih keterampilan sebagai bekal bagi siswa untuk dapat bekerja
(Sigelman & Shaffer, 1995: 426).
3. Lingkungan Sosial
Faktor
sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan,
yaitu: pendidikan orang tua, tradisi – tradisi sosial dan tekanan – tekanan lingkungan
sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang
disepakati oleh lingkungan (Hamsir, 2012).
·
Perbedaan Individual
Dalam Nilai, Moral,dan Sikap
Nilai,
moral, dan sikap, banyak berkaitan dengan substansi kehidupan kelompok sosial
tertentu. Sistem nilai, moral, dan sikap individu dalam suatu kelompok sosial
sedikit banyak dipengaruhi oleh struktur budayadari kelompok sosial tersebut.
Dengan demikian, sistem niali, moral, dan sikap yang berlaku dalam masyarakat
berbeda antara kelompok satu dengan lainnya. Bahkan sesungguhnya, sistem nilai,
moral, dan sikap bukan hanya diengaruhi oleh kelompok masyarakat tertentu,
melainkan dalam suatu keluarga pun biasanya memiliki dan menjunjung tinggi
sistem nilai, moral, dan sikap yang diyakini dan dipegang teguh oleh anggota
keluarga. Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta
dinilai positif oleh suatu kelompok masyarakat sosial tertentu belum tentu
dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama halnya, sesuatu yang
dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu keluarga
tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain. Ada suatu keluarga
yang mengharuskan para anggota berpakaian muslimah dan sopan karena cara
berpakaian seperti itulah dipandang bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada
keluarga lain yang lebih senang dan memandang lebih bernilai jika anggotanya
berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang sedang merak dikalangan
selebritis (Ali & Asrori, 2004:147).
Oleh sebab itu, hal yang wajar jika
terjadi perbedaan individual dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat
tentang sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya. Perbedaan individual
didukung oleh fase, tempo, dan irama perkembangan masing-masing individu. Dalam
teori perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap
individu dapat mencapai tingkat perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi
kecepatan pencapaiannya juga ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya
meskipun dalam suatu kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, sangat
dimungkinkan individu yang lahir pada waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih
tinggi dan lebih maju tingkat pemikirannya (Ali & Asrori,2004:147).
·
Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan
Sikap Serta Implikasi Bagi Pendidikan
Suatu sistem
sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan
sikap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan
orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu
yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang
baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan, serta memiliki sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan
orang tua, masyarakat sekitar, dan agama. Melalui proses pendidikan,
pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi
edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap
yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang
diharapkan (Ali & Asrori,2004:147-148).
Upaya
pengembangan nilai, moral, dan sikap dan sikap juga diharapkan dapat
dikembangkan secara efektif di lingkungan sekolah. Akhir-akhir ini, karena
semakin maraknya perilaku remaja yang kurang menjunjung tinggi nilai-nilai,
moral, dan sikap positif maka diberlakukan lagi pendidikan budi pekerti di
sekolah. Penentuan kelulusan siswa,tidak hanya didasarkan pada prestasi
akademik belaka melainkan harus dikaitkan dengan budi pekerti siswa tersebut.
Proses pendidikan budi pekerti meskipun zaman sebelumnya sudah diterapkan di
sekolah, namun kemudian menghilang begitu saja seiring dengan gencarnya
kampanye mengejar ketertinggalan dalam pembangunan teknologi. Pendidikan budi
pekerti ini sampai sekarang masih dalam proses dan penyempurnaan untuk kemudian
menunggu hasilnya dievaluasi. Suatu kelemahan dalam sistem pendidikan kita
adalah kita jarang atau hampir tidak pernah merumuskan nilai-nilai inti (core
values) dan fundamental secara rinci dan jelas yang kemudian dijadikan landasan
bagi semua praktik penidikan. Sistem pendidikan kita mudah berubah-ubah untuk
mencari bentuk baru, meskipun sistem pendidikan yang lama belum tuntas
diterapakan dan sesungguhnya memiliki dasar-dasar nilai yang lebih kokoh (Ali
& Asrori,2004:148).
Serangkaian
penelitian menarik yang dilakukan oleh Blatt dan Kohlberg (1995) menunjukkan
bahwa upaya pedagogis yang lebih terbatas untuk merangsang proses perkembangan
moral dapat juga memiliki dampak yang berarti pada anak. Praktiknya dalah
membentuk kelompok masing-masing beranggotakan 10 orang siswa, bertemu dua kali
dalam seminggu selama tiga bulan untuk membahas berbagai dilema moral.
Kebanyakan siswa dalam kelas perkembangan moralnya ternyata mengalami kemajuan
hampir satu tahap penuh. Suatu perubahan substansial untuk kurun waktu sependek
itu. Apalagi, para siswa yang telah mengalami kemajuan setelah 12 minggu tetap
menunjukkan kemajuan itu setahun kemudian ketimbang kelompok siswa yang tidak
pernah memiliki pengalaman diskusi dilema moral (Ali & Asrori,2004:148).
Prosedur
diskusi moral yang digunakan oleh Blatt berbeda dengan yang umumnya dilakukan
oleh para guru. Prosedur diskusi moralnya menggunakan apa yang disebut dengan
istilah “induksi konflik-kognitif” (cognitif-conflict
induction) mengenai masalah-masalah moral dan memberikan keterbukaan
terhadap tahap berpikir yang sebenarnya berada di atas tahap berpikir siswa
(Ali & Asrori,2004:148).
Prosedur pertama,
kurikulum pendidikan moral dipusatkan pada suatu rangkaian dilema moral yang
didiskusikan bersama-sama antara siswa dan guru. Semua dilema moral yang
dipilih adalah yang dapat mencetuskan konflik-kognitif, yaitu rasa tida pasti
mengenai apa yang benar, memadainya keyakinan moral yang ada dan dipegang oleh
siswa, atau dipilih karena dilema moral dapat menimbulkan perdebatan di
kalangan siswa (Ali & Asrori, 2004:148-149).
Prosedur kedua, menimbulkan diskusi antara para
murid pada dua tahap perkembangan moral yang berdekatan. Kebanyakan kelas yang
digunakan Blatt terdiri atas para siswa yang sekurang-kurangnya memiliki tiga
tahap perkembangan moral yang berbeda dan berdekatan. Karena para siswa
berpikir sesuai dengan perbedaan tahap perkembangan moralnya, argumentasi yang
mereka gunakan juga menjadi berbeda dan bervariasi. Selama diskusi berlangsung,
guru mula-mulamendukung dan menjelaskan semua argumentasi yang berada satu
tahap di atas perkembangan moral teryaitu endah. Misalnya, guru mendukung
asrgumentasi siswa yang berada pada tahap 3 daripada tahap 2. Apablia
argmentasi tampak dipahami oleh siswa, guru menantang tahap 3 sambil menggunakn
situasi-situasi dilema moral baru dan menjelaskan semua argumen yang berasal
dari 1 tahap di atasnya,yaitu argumen-argumen dari tahap 4. Pada akhir
semester,semua siswa di uji ulang,danhasilnya para siswa memperlihatkan
perubahan yang berarti ke tingkat yang lebih tinggi daripada kelompok yang
tidak dilibatkan dalam diskusi moral. Seseutu yang mengembirakan adalah bahwa
perubahan ke tingkat yang lebih tinggi mampu bertahan hinggaa setahun kemudian
(Ali & Asrori,2004:149).
Implikasi
bagi pendidikan dari hasil penelitian Blatt adalah bahwa guru harus serius
membantu para siswa mempertimbangkan berbagai konflik moral yang
sesungguhnya,memikirkan cara pertimbangan yangdiguankan dalam menyelesaikan
konflik moral,melihat ketidakkonsistenan cara berpikir, dan menemukan jalan
untuk mengatasinya.untuk dapat melaksanakannya,guru harus memahami tingkatan
berpikir siswa mdan menyesuaikan dalam
berkomunikasi dengan tingkat di atasnya, memusatkan perhatian pada bernalar siswa, serta membatu
siswa mengatasi konflik yang dapat mengantarkannya kepada kesadaran bahwa pada
tahap berikutnya akan lebih memadai (Ali & Asrori, 2004:149).
Perlu
ditegaskan bahwa program diskusi moral di ruang kelas hanyalah merupakan salah
satu contoh bagaimana metode penggembangan kognitif (cognitive development) di
terapkan di sekolah. Pendekatan diskusi kelas seharusnya merupakan bagian dari
keterlibatan yang lebih luas dan lebih
bertahan bagi para siswa dalam kehidupan sosial dan moral sekolah. Jika
dibandingkan dengan berusaha menanamkan
seperangkat nilai yang sudah ditetapkan
sebelumnya dan tidak dipersoalkan lagi, sebaliknya guru menguji siswa
dengan persoalan-persoalan moral atau dilema-dilema yang di hadapi oleh
komunitas sekolah sebagai masalah yang harus diselesaikan (Ali &
Asrori,2004:149).
Sayangnya,
dewasa ini sekolah-sekolah pada umumnya bukan menjadi lembaga moral secara
khusus. Hubungan-hubungan kelembagaan cenderung berdasarkan otoritas daripada
ide keadilan. Orang dewasa sering kali kurang berminat untuk menemukan
bagaimana cara siswa berpikir dan cenderung lebih senang mengatakan kepada para
siswa tentang apa yang seharusnya mereka pikirkan. Suasana sekolah pada umumnya
merupakan kombinasi antara tahap 1 dari tahap perkembangan moral, yaitu
moralitas hukuman dengan tahap 4, yaitu hukum dan tata tertib yang gagal
menciptakan kesan atau merangsang siswa agar terlibat dalam filsafat moral
mereka sendiri (Ali & Asrori,2004:149).
Selain
diskusi ruang kelas tentang dilema moral, Kohlberg (1992) juga menyarankan agar
diperluas ke dalam diskusi tentang kehidupan nyata. Masalah-masalah kehidupan
nyata akan dapat membawa proses pendidikan moral kepada apa yang seharusnya
merupakan pokok perhatian utama dalam pendidikan moral, yaitu suasana moral
sekolah. Perluasan diskusi ruang kelas tentang keadilan atau dilema moral
menjadi diskusi tentang kehidupan nyata yang
berarti sama dengan melakukan usaha penanganan masalah-masalah keadilan
dan moral disekolah. Oleh sebab itu, pendidikan demi keadilan dan moral
menuntut usah menjadikan sekoalh lebih adil dan bermoral, serta mendorong para
siswa berperan aktif untuk mewujudkan sekolah menjadi lebih adil dan bermoral
(Asrori, 2008:147-148).
Selanjutnya,
Kohlberg (1995) memberikan ilustrasi tentang penerapan prinsip utama dari
rangsangan yang berkenaan dengan lingkunagan terhadap proses perkembangan
moral. Prinsip utama adalah konsepsi mengenai peningkatan kesempatan
partisipasi dan pengambilan peran sosial. Mengenai pentingnya partisipasi dan
peran sosial ini, hasil penelitian Kohlberg (1970) menunjukkan bahwa anak yang
memilki partisipasi kelompok sebaya yang lebih luas perkembangan moralnya ternyata
lebih cepat daripada anak yang dikucilkan dari partisipasi sosial, meskipun
mereka memiliki IQ dan kelas sosial yang sama.ini menunjukkan bahwa betapa
pentingnya kelompok teman sebaya sebagai stimulasi yang relevan dan memiliki
kemampuan kuat bagi pendidikan moral. Adalah suatu kenyataan dari hasil
penelitian bahwa siswa yang tersisih dalam kelasnya lebih lambat
mengembangkan kemampuan pertimbangan
moral daripada terintegrasi dengan baik bersama-sama teman sekelasnya (Ali
& Asrori,2004:150).
C.
JENIS – JENIS KEBUTUHAN REMAJA
Salah satu aspek psikologis yang
berperan penting dalam menggerakkan manusia untuk berbuat sesuatu adalah
“motivasi”. Konsep lain yang sering disejajarkan dengan motivasi adalah dikenal
dengan drive (dorongan) dan desire (keinginan). Namun,sejauh
perkembangan pengkajian mengenai tingkah laku manusia,yang dikenal luas sebagai
pendorong tingkah laku manusia adalah motivasi. Teori motivasi yang sangat
terkenal dibangun dan dikembangkan oleh seorang yang bernama Abraham H.Maslow (Ali & Asrori,
2004:153). Sedemikian masyurnya teori ini, Goble (1987) bahkan sampai pada
suatu kesimpulan bahwa teori Maslow tentang motivasi manusia dapat diterapkan
pada hampir seluruh aspek kehidupan pribadi serta kehidupan sosial.
Satu konsep fundamental yang khas
dari teori motivasi yang dikemukakan oleh Maslow adalah bahwa manusia
dimotivasikan oleh sejumlah “kebutuhan” dasar yang bersifat sama untuk seluruh
spesies, tidak berubah, dan berasal dari suatu sumber genetis atau naluriah
(Goble, 1987). Kebutuhan-kebutuhan itu tidak semata-mata bersifat fisiologis,
melainkan juga bersifat psikologis. Keutuhan-kebutuhan ini sesungguhnya
merupakan inti kodrat manusia,hanya saja mereka itu lemah serta mudah
diselewengkan dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan, atau tradisi yang
keliru (Ali & Asrori, 2004:153). Menurut Maslow, kebutuhan-kebutuhan itu
merupakan aspek-aspek intrinsik kodrat manusia yang tidak dimatikan oleh
kebudayaan, hanya saja ditindas oleh kebudayaan (Goble, 1987). Lebih lanjut dia
mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan itu dapat dengan mudah diabaikan atau
ditekan, tidak bersifat jahat melainkan netral atau justru baik (Asrori,
2008:150).
Menurut Maslow (1962), suatu sifat
dapat dipandang sebagai kebutuhan dasar jika memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1.
Ketidakhadirannya atau
ketidakadaannya menimbulkan penyakit.
2.
Kehadirannya mencegah timbulnya
penyakit.
3.
Pemulihannya menyembuhkan penyakit.
4.
Dalam situasi-situasi tertentu yang
sangat kompleks dan orang bebas memilih, orang
yang sedang berkekurangan ternyata
mnegutamakan kebutuhan dibandingkan jenis-jenis kepuasan lainnya.
5.
Kebutuhan itu tidak aktif, lemah,
dan secara fungsional,tidak terdapat pada orang yang hebat.
·
Teori Kebutuhan Pada Umumnya
Maslow (dalam Bill S. Reksadjya, 1981) merumuskan kebutuhan
manusia terdiri dari lima jenis dan berjenjang. Teorinya terkenal dengan “
Hirarki Kebutuhan” manusia. Disebut dengan hirarki, karena pemenuhan kebutuhan
dilakukan secara berjenjang sesuai dengan yang lainnya untuk segera dipenuhi. Apabila
kebutuhan pertama telah terpenuhi dengan baik maka ranking prioritas yang
terbesar berikutnya adalah jenis kebutuhan kedua, yaitu kebutuhan rasa aman,
dan seterusnya hingga kebutuhan kelima. Lima jenis kebutuhan menurut Maslow
itu, diuraikan secara rinci pada pembahasan berikut ini :
1.
Kebutuhan Fisiologis
Dari lima kebutuhan itu, kebutuhan yang mendapat
perhatian lebih besar dibanding dengan kebutuhan lainnya untuk segera dipenuhi
adalaah kebutuhan yang berkaitan dengan kebutuhan fisik kebutuhan ini juga
diistilahkan dengan ‘’kebutuhan fislologis’’ contoh dari jenis kebutuhan ini
antara lain kebutuhan untuk makan, minum, pakaian, seks, udara segar,
istirahat, dan sejenisnnya. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang berada pada
level paling utama untuk kelangsungan hidup manusia (Mudjiran,2007).
Ini
merupakan kebutuhan yang paling dasar, paling kuat, dan paling jelas dari
sekian banyak kebutuhan manusia karena merupakan kebutuhan untuk mempertahankan
hidupnya secara fisik,yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, sandang, tempat
tidur, seks, tidur, dan oksigen. Seseorang yang mengalami kekurangan
makanan,pertaa-tama yang akan dilakukan adalah memburu makanan terlebih dahulu.
Kebutuhan –kebutuhan lain akan ditekan terlebih dahulu dan akan mengutamakan
pemenuhan kebutuhan fisiologinya. Bagi orang yang lapar berat dan membahayakan
dirinya, motivasi utamanya adalah makanan untuk menghilangkan rasa laparnya
(Asrori, 2008:151). Bahkan Maslow mengatakan:”ia bermimpi tentang
makanan,pikirannya tertuju pada makanan,keinginannya juga tertuju pada makanan.
2.
Kebutuhan Rasa Aman
Di atas
kebutuhan fisiologis atau dapat dikatakan sebagai kebutuhan yang lebih tinggi
dari kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan rasa aman. Segera setelah
kebutuhannya terpenuhi, maka kan muncul pada diri seseorang akan kebutuhan rasa
aman itu (Asrori, 2008:151).
Kebutuhan rasa aman dan tentram juga
disebut dengan istilah “safety needs” rasa aman yang bersifat psikis, seperti
dikatakan oleh steers dan porter (1987) yaitu aman dalam bentuk lingkungan
emosional. Aman berarti terbebas dari gangguan dan ancaman, serta permasalahan
yang dapat mengganggu ketenangan hidup seseorang. Bebas dari ancaman yang dapat
mengganggu kelangsungan hidup sehari-hari (Mudjiran,2007).
Menurut
(Goble, 1987), dalam penelitiannya mendapati bahwa para psikolog dn pendidik
menemukan bahwa anak-anak membutuhkan dunia yang jelas dan dapat diramalkan.
Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu.
Jika kejelasan, dapat diramalkan, dan konsistensi itu tidak dapat ditemukan
dlam dunianya, maka akan menyebabkan kecemasan dan merasa tidak aman.
Orang dewasa
yang senantiasa merasa dirinya tidak aman akan cenderung neorotik dan
bertingkah laku seperti anak yang tidak aman (Asrori, 2008:151-152). Orang semacam
itu, kata Maslow, akan cenderung bertingkah laku seakan-akan selalu dalam
keadaan terancam bencana besar. Seseorang yang merasa tidak aman memiliki
kebutuhan yang berlebihan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha
keras menghindari segala sesuatu yang dipandang asing bagi dirinya dan yang
tidak diharapkan oleh dirinya.
3.
Kebutuhan akan Rasa Cinta dan
Memiliki atau Kebutuhan Sosial
Setelah kebutuhan psikologis dan
rasa aman terpenuhi, maka muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan
akan rasa memiliki dan dimilki, cinta, dan kasih sayang. Setiap manusia
sesungguhnya merasakan kebutuhan yang mendalam akan adanya cinta dan kasih
sayang dari orang lain dan kepada orang lain. Demikian juga, setiap orang sangat membutuhkan rasa memiliki dan
dimiliki orang lain. Seseorang akan merasa sedih kalau dirinya merasa tidak
memiliki dan dimiliki orang lain atau kelompoknya karena dirinya akan tidak
diterima atau tidak mendapat tempat pada diri orang lain atau kelompoknya.
Demikian juga, seseorang akan merasa sedih jika dirinya merasa tidak disayangi
oelh orang lain atau kelompoknya. Betapapun seseorang sudah terpenuhi kebutuhan
fisiologisnya dan rasa amannya, tetapi jika merasa tidak ada cinta dan kasih
sayang serta tidak ada rasa memiliki dan dimiliki orang lain atau kelompoknya,
maka akan terasa ada sesuatu kekurangan yang sangat mendalam yang menggangggu
pikiran dan perasaannya (Asrori, 2008:152).
Bagi Maslow, cinta dan kasih sayang
merupakan sesuatu yang hakiki dan sangat berharga dalam kehidupan manusia
karena di dalamnya menyangkut suatu hubungan erat, sehat, dan penuh kasih
sayang antara dua orang atau lebih, serta menumbuhkan sikap saling percaya.
Carl Rogers merumuskan cinta dan kasih sayang sebagai “keadaan dimengerti
secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati”. Dalam hubungan antarmanusia
yang dilandasi rasa kasih sayang dan rasa memiliki akan menumbuhkan hubungan
yang sejati. Dalam hubungan yang sejati tidak akan ada rasa takut, tidak aman,
atau cemas yang sering sekali menjadi penyebab rusaknya hubungan manusia satu
sama lain (Asrori, 2008:152). Maslow bahkan menemukan bahwa tanpa cinta dan
kasih sayang, pertumbuhan dan perkembangan individu akan terhambat. Para ahli
psikopatologi mengatakan bahwa terhalangnya pemuasan kebutuhan akan rasa cinta
dan kasih sayang merupakan penyebab utama terjadinya salah suai (maladjustment). Jadi, kebutuhan akan
rasa cinta dan kasih sayang serta rasa memiliki dan dimiliki ini merupakan
kebutuhan yang sangat diperlkan sejak masih bayi sampai tua (Asrori, 2008:152).
Kebutuhan
rasa cinta dan memiliki atau “love and belongingness needs”. Kebutuhan ini
dapat berupa perasaan diterima oleh orang lain, merasa dirinya berguna bagi
orang lain, diikutsertakan dalam kelompoknya, mengembangkan persahabatan dan
sejenisnya. Orientasi pemenuhan kebutuhan ini cenderung pada terciptanya
hubungan sosial yang harmonis dan kepemilikan (Mudjiran,2007).
4.
Kebutuhan Harga Diri
Jenis
kebutuhan yang keempat ini juga disebut dengan “self esteem needs”. Setiap
manusia membutuhkan pengakuan secara layak atas keberadaanya bagi orang lain.
Hak dan martabatnya sebagai manusia tidak dilecehkan oleh orang lain, bilamana
terjadi pelecehan harga diri, maka setiap orang akan marah atau tersinggung.
Beberapa bentuk kebutuhan ini antara lain adalah ingin memiliki citra diri
positif, menerima pengakuan, penghargaan dan perhatian dari orang lain (Steers
dan Porter 1987). Oleh karena itu guru tidak baik kalau
suka (meng-erosikan) harga diri siswanya. Secara tidak
disadari hal ini sering terjadi di sekolah seperti guru suka mempermainkan nama
seseorang yang dianggap aneh dan/atau memberikan panggilan yang tidak menyenangkan
bagi orang yang bersangkutan. Hal ini dapat dirasakan merendahkan harga
dirinya. Sebagai contoh guru memnggil seorang siswa yang badannya kurus dengan
panggilan “si krempeng”. Anak yang rambutnya keriting dipanggil “si kribo” dan
banyak lagi contoh yang lain yang tidak normatif bagi tindakan seorang
pendidik. Untuk itu perlu dihindarkan memberi label yang tidak disenangi bagi
orang lain (Mudjiran,2007).
Ada dua
kategori tentang kebutuhan akan penghargaan pada manusia, yaitu:
a)
Kebutuhan akan harga diri
b)
Kebutuhan akan penghargaan dari
orang lain.
Kebutuhan akan harga diri meliputi:
1)
Kepercayaan diri
2)
Kompetensi
3)
Penguasaan
4)
Kecukupan
5)
Prestasi
6)
Ketidak-tergantungan
7)
Kebebasan
Kebutuhan akan penghargaan dari
orang lain meliputi:
1)
Prestise
2)
Pengakuan
3)
Penerimaan
4)
Perhatian
5)
Kedudukan
6)
Nama baik
Kebutuhan akan diri dan penghargaan
dari orang lain juga tidak kalah pentingnya dari kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Seseorang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri, merasa lebih
mampu, dan lebih produktif. Sebaliknya, orang yang tidak cukup memiliki harga
diri akan cenderung merasa rendah diri, tidak percaya diri, tidak berdaya,
tidak berdaya, dan bahkan kehilangan inisiatif atau mengalami kebuntuan
berpikir. Perlu ditegaskan di sini bahwa harga diri yang paling stabil dan
paling sehat adalah yng tumbuh dan berkembang dari penghargaan yang wajar dari
orang lain, bukan penghargaan karena kedudukan, kemasyuran, atau sanjungan
kosong (Ali dan Asrori,2004:156).
5.
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Jenis kebutuhan yang kelima ini
diistilahkan dengan ‘’self actualization needs’’. Setiap orang memiliki potensi
dan potensi itu perlu pengembangan dan pengaklualisasian. Orang akan menjadi
puas dan citra dirinya positif apabila dapat mewujudkan potensi – potensi yang
dimiliki dengan baik. Orang akan merasa bahagia dan puas bilamana dapat
mewujudkan peran dan tanggung jawabnya dengan baik. Contohnnya seorang
mahasiswa dapat berprilaku atau menampilkan diri sebagaimana layaknya seorang
mahasiswa dalam kehidupannya sehari – hari (Mudjiran,2007).
Maslow menegaskan bahwa setiap orang
harus berkembang sepenuh kemampuan yang dimilikinya. Dalam konteks ini, Maslow
mengemukakan suatu kebutuhan yang dipandang sebagai kebutuhan paling tinggi
yang kemudian diberi nama “aktualisasi
diri”. Kebutuhan “aktualisasi diri” didefinisikan sebagai
kebutuhan mendalam pada individu untuk menumbuhkan , mengembangkan, dan
menggunakan kemampuannya secara penuh. Kebutuhan aktualisasi diri ini merupakan
salah satu aspek yang amat dalam teorinyaberkenaan dengan motivasi . Lebih lanjut,
dia melukiskan kebutuhan ini sebagai “hasrat
untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut
kemampuannya”. Dikatakan oleh Maslow bahwa kebutuhan aktualisasi diri ini
biasanya muncul sebuah sesudah kebutuhan aan penghargaan dan kasih sayang
terpenuhi secara memadai. Dalam hierarki kebutuhan dari Maslow, kebutuhan
aktualisai diri ini merupakan kebutuhan tertinggi atau puncak kebutuhan manusia
(Asrori, 2008:155-156).
·
Teori Kebutuhan yang Dipelajari Mc.Claland
Konsep
penting lain dari teori yang didasarkan dari kekuatan yang ada pada diri
manusia adalah motivasi prestasi menurut Mc Clelland seseorang dianggap
mempunyai apabila dia mempunyai keinginan berprestasi lebih baik daripada yang
lain pada banyak situasi Mc. Clelland menguatkan pada tiga kebutuhan yaitu :
1.
Kebutuhan
prestasi(need achesment (n.Ach)) tercermin dari keinginan mengambil tugas yang
dapat dipertanggung jawabkan secara pribadi atas perbuatan-perbuatannya. Ia
menentukan tujuan yang wajar dapat memperhitungkan resiko dan
ia berusaha melakukan sesuatu secara
aktif dan inovatif.
2. Kebutuhan afilias(need for afliation (n.
Af)), kebutuhan ini ditujukan dengan adanya bersahabat.
3. Kebutuhan kekuasaan
(need for power (n.Pow)), kebutuhan ini tercermin pada seseorang yang ingin
mempunyai pengaruh atas orang lain, dia peka terhadap struktur pengaruh antar
pribadi dan ia mencoba menguasai orang lain dengan mengatur perilakunya dan
membuat orang lain terkesan kepadanya, serta selalu menjaga reputasi dan kedudukannya
(Ali dan Asrori,2008).
D.
TUGAS – TUDAS PERKEMBANGAN REMAJA
·
Pengertian
Setiap
individu tumbuh dan berkembang selama perjalanan kehidupannya melalui beberapa
periode atau fase-fase perkembangan.Setiap fase perkembangan mempunyai
serangkaian tugas perkembangan yang harus diselesaikan dengan baik oleh setiap
individu.Sebab,kegagalan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan pada fase
tertentu berakibat tidak baik pada
kehidupan fase berikutnya. Sebaiknya, keberhasilan dalam menyelesaikan
tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya (Ali & Asroli, 2004:164 ).
Seorang
ahli psikologi yang dikenal luas dengan teori tugas-tugas perkembangan adalah
(Hurlock,1990). Dia mengatakan bahwa tugas perkembangan adalah tugas yang
muncul pada saat atau sekitar satu
periode tertentu dari kehidupan individu dan jika berhasil akan menimbulkan
fase bahagia dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas
berikutnya. Akan tetapi, kalau gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan
kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya. Tugas-tugas perkembangan
tersebut diantaranyamuncul sebagai akibat kematangan fisik, sedangkan yang lain
berkembang karena adanya aspirasi budaya,sementara yang lain lagi tumbuh dan
berkembangan karena nilai-nilai dan aspirasi individu.
·
Tujuan
Tugas-tugas
perkembangan mempunyai tiga macam tujuan yang sangat bermanfaat bagi individu
dalam menyelesaikan tugas perkembangan(Ali & Asrori 2004:164),yaitu sebagai
berikut:
1. Sebagai
petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarat dari
mereka pada usia-usia tertentu.
2. Memberi
motivasi kepada setiap individu untuk melakukan apa yang diharapkan oleh
kelompok sosial pada usia tertentu sepanjang kehidupan.
3. Menunjukan
kepada setiap individu tentang apa yang akan mereka hadapi dan tindakan apa
yang diharapkan dari mereka jika nantinya akan memasuki tingkat perkembangan
berikutnya.
Tugas-tugas
perkembangan ada yang dapat diselesaikan dengan baik, ada juga yang mengalami
hambatan. Tidak dapat diselesaikan dengan baik suatu tugas perkembangan dapat
menjadi bahaya potensial. Setidaknya ada tiga macam bahaya potensian yang
menjadi penghambat penyelesaian tugas perkembangean,yaitu sebagai berikut;
1. Harapan-harapan
yang kurang tepat,baik individu maupun lingkungan sosial mengharapkan perilaku
diluar kemampuan fisik maupun psikologi.
2. Melangkahi
tahap-tahap tertentu dalam perkembangan sebagai akibat kegagalan menguasai
tugas-tugas tertentu.
3. Adanya
krisis yang dialami individu karena melewati satu tingkatan ketingkat yang
lain.
Havighurst mendefinisikan
tugas perkembangan, adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu
periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan
fase bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugasa-tugas
berikutnya. Akan tetapi, kalau gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan
kesulitan dalam menghadapin tugas-tugas berikut.
Ada sejumlah tugas perkembangan remaja yang penting,yaitu:
1. Mencapai
hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita;
2. Mencapai
peran sosial pria dan wanita;
3. Menerima
keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif;
4. Mencapai
kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya;
5. Mencapai
jaminan kebebasan ekonomis;
6. Memilih
dan menyiapkan lapangan pekerjaan;
7. Persiapan
untuk memasuki kehidupan berkeluarga;
8.
Mengembangkan
keterampilan intelektuan dan konsep yang penting untuk kompetensi
kewarganegaraan;
9. Memperoleh
suatu himpunan nilai-nilai dan sistem etika sebagai pedoman tingkah laku.
daftar
pustaka
Ali, M dan
M.Asrori. 2004. Psikologi Remaja. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Anggraini,Rika.2012.Perkembangan Nilai Moral,dan Sikap. Lampung. (Online). (http://chachafaheem.blogspot.com., diakses pada 29 April
2012).
Asrori,
Muhammad. 2008. Psikologi Pembelajaran.
Bandung: CV. Wacana Prima.
Goble, F.G.
1987. The Third Force: The Psychology of
Abraham Maslow. New York: Washington Squqre
Press.
Hamsir. 2012. Perkembangan
Moral, dan Sikap Remaja.Bulukumba. (Online).( http://hamsir-amunk.blogspot.com., diakses pada Mei 2012).
Horrocks,
J.E. 1976. The Psychology of Adolesence.
New York: Houghton Mifflin.
Kohlberg,
L.E. 1970. “The Moral Atmosphere of the
School”. Dalam N. Overley (Ed). The
Unstudied Curriculum, Washington D.C. : Monograph of the Assosiation for
Supervision and Curriculum Development.
Mudjiran, dkk. 2007.
Perkembangan Peserta Didik. Padang:
UNP Press.
Sigelman Carol
K., & Shaffer David R. 1995. Life-Span Human Development. Calipornia
: Brooks/Cole Publishing Company.
Sunarto
dan B. Agung Hartono. 2006. Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Yusuf, S
dan Sugandhi. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Yusuf, Syamsu.
2007. Psykologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Bandung: Rosdakarya.
Disusun :
Maharani
(F15112023)
Margareta Kiki (F15112026)
Maria
Elisabeth (F15112033)